CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 09 Mei 2009

MENGAMATI PERKEMBANGAN MUSIK INDONESIA MELALUI DUA SISI

Mengamati Perkembangan Musik Indonesia : Dua Sisi

Pianoforte_3_tasti_ Pada Majalah Rolling Stones Indonesia edisi terakhir tahun 2007, memberikan judul 150 album terbaik Indonesia. Sejenak judul itu merefleksikan album-album apa saja yang menurut survuei dan interpretasi (mereka saja?) tentang album-album yang memunyai kualitas diatas rata-rata dan telah memberi pengaruh terhadap perkembangan musik Indonesia hingga sekarang. Lalu, pada hampir di halaman terakhir ada rubrik yang cukup membuat kita menjadi terpingkal. Betapa tidak, halaman tersebut berisi tentang tiga album terburuk tahun 2007. Isinya antara lain, album OST BBB (Bukan Bintang Biasa), Kangen Band (Tentang Aku, Engkau, dan Dia), dan terakhir album The Rock (Mister Master Ahmad Dhani).

Setelah membaca artikel tersebut, saya bingung dan bertanya dalam hati, ”apakah album mereka sampai segitu jeleknya (juga buruk) sampai diberikan predikat tersebut?”. Tapi bagi saya butuh seribu alasan dan seribu bukti untuk memverifikasi judgement ”terburuk” terhadap tiga karya musik tersebut. Dalam pikiran saya, memang ada standar baku terhadap sebuah karya musik? Sehingga seorang pelaku resensi album dengan seenaknya memberikan label tersebut? Tidak sesuperficial itu juga , sih. Pastinya mereka memiliki segudang alasan dan pastinya segudang bukti.

Sejak itu saya semakin tertarik untuk mengobservasi lebih dalam lagi tentang progres musik indonesia kira-kira satu setengah tahun ini. Untuk tiga album di atas, saya lebih perhatikan lagi komposisi musiknya dan mulai membaca artikel-artikel tentang mereka. Tentang Kangen Band, saya jadi tertarik dengan mereka. Coba Anda bayangkan, hampir semua orang teman-teman saya memperolokkan band tersebut. Mereka bilang band kampungan, musiknya menye-menye-lah, tidak berkuakitaslah, dan segudang hujatan lainnya kepada mereka.

Tapi apa yang terjadi? Mereka semakin populer saja. Di TV saja, seperti dalam acara-acara musik ataupun non musik yang menghadirkan band, nama mereka semakin ”ada” saja. Bahkan beberapa bulan yang lalu, Metro TV dalam acara Kick Andy, acara tersebut dengan sengaja mengangkat kisah perjalanan kesuksesan karier mereka yang dimulai dari bawah. Alhasil, acara tersebut menuai protes yang tidak sedikit terhadap saluran televisi swasta tersebut. Bahkan, dalam album perdana duo T2 (salah satu personilnya ”Tiwi AFI”), dengan hits pertama mereka yang berjudul ”Lelaki Cadangan” itu ternyata karangan gitaris Kangen Band. Setelah mendapatkan dan mendengarkan rekaman lagu tersebut, saya justru kaget karena komposisi dan konfigurasi kordnya hampir mirip dengan lagu-lagu Melly Goeslaw (awalnya sebelum notice kalau itu lagu karangannya dia, saya menyangka lagu tersebut dikarang oleh Melly).

Agar tidak bias, saya sengaja mendengarkan satu album mereka. Hasilnya, kalau boleh memberi bintang satu sampai lima, saya akan memberi satu setengah. Secara komposisi, terlihat biasa. Walapun ada beberapa yang balada, dan ternyata juga sudah menjadi hits mereka di media-media. Tapi logikanya, apakah pantas kita melabel mereka sebagai pendatang dengan album terburuk dengan menyalahkan komposisi mereka yang mengimpresikan ke-menye-menye-an, sementara hampir semua band yang berkarya akhir-akhir ini juga menampilkan hal yang sama? Kalau begitu kita juga bisa menyalahkan influences mereka yag sebelum-sebelumnya, dong?

Jujur saja, saya juga agak kurang sreg dengan perkembangan musik Indonesia akhir-akhir ini. Karena tuntutan industri musik yang sangat mementingkan komersialitas dan mementingkan konformitas, justru membuat mereka itu menjadi (sengaja) stagnant dalam memproduksi ide-ide yang kreatif. Mereka juga masih terpaku dan berjalan di jalur yang aman. Apa takut ditinggal penggemar atau ditinggal label rekaman yang menfasilitasi mereka? Apa kita juga perlu mendidik penggemar yang notabene juga pelaku industri musik dengan mengajarkan bahwa suatu perubahan dan kreativitas adalah lebih baik? Absurd juga, bukan?

1_bigtre_1 Lalu tentang album OST. Bukan Bintang Biasa, tidak kalah dihujat juga. Banyak pengamat musik menilai bahwa ini adalah degenerasi seorang brilian Melly. Melly yang selama ini menghasikan album-album yang terbilang sukses namun bagi saya cita rasanya sama hanya packaging-nya saja yang berbeda. Coba Anda perhatikan, sejak album OST Ada Apa Dengan Cinta, dan dilanjutkan dengan OST Eiffel I’m Love hingga OST BBB ini, Melly suka sekali bereksperimen dengan orang-orang (baca: penyanyi) yang terbilang baru di industri musik Indonesia.

Memang tidak salah ketika kita bereksperimen dengan sesuatu yang baru, tapi ketika dihadapkan dengan album OST. BBB ini, tampaknya Melly menuai kritikan dan protes karena telah salah dengan mengajak artis-artis pendukung OST ini kepada orang-orang yang katanya ”tidak bisa nyanyi sama sekali”. Alhasill kualitas album (kecuali musik dari instrumen) terlihat sangat standar dan terkesan dipaksakan. Saya hanya bisa tersenyum, karena bagaimanapun juga Melly pasti memunyai pertimbangan lain tentang ini dan juga seperti anekdot yang sering kita dengar ”penonton sangat pandai sekali menilai”.

Satu lagi album terburuk tahun 2007, adalah album The Rock. Dalam majalah Rolling Stone Indonesia dan majalah Hai, tidak sedikit setiap tulisan yang berkaitan dengan Ahmad Dhani dan pastinya dengan The Rock-nya ini disinggung-singgung sebagai antiklimaks dari perjalanan dan kualitas musik seorang Dhani. Terlebih ketika disinggung single pertamanya yang berjudul ”Munajat Cinta” itu.

Ada yang berpendapat Dhani sekarang sudah tidak mampu lagi menciptakan karya-karya fenomenal seperti yang dilakukannya pada album-album Dewa ”Pandawa Lima” dan Ahmad Band atau seperti dia membantu Reza Artamevia dulu. Tidak hanya itu, dalam album The Rock tersebut hanya memuat tiga lagu baru saja. Yang lain, hanyalah repackaging dari masterpiece Dhani dulu. Hanya arransemennya saja yang berbeda. Bahkan yang lebih kontrasnya, band yang bernama The Rock ini terlihat seperti akan memainkan musik-musik rock. Tapi yang terjadi, terdapat dua lagu yang bernuansa swing jazz. Paradoks?

Untungnya reporter Hai segera menemui serta mewawancarai Dhani di tengah kesibukannya dan terangkum dalam tulisan artikel di majalah Hai. Apa advokasi dan argument seorang Dhani? Bagi dia, ketika membuat lagu Munajat Cinta tersebut, dia terinspirasi dari Matta Band (yang memopulerkan hits ”Ketahuan”) dimana dia berniat membuat lagu yang memunyai melodi yang easy to catch dan hal itu dilakukannya. Walau dicerca, lagu tersebut justru sering diputar di media-media hiburan.

Lalu ketika ditanyai tentang menyelipnya dua lagu bernuansa swing itu, Dhani memjawab bahwa dia sudah lama kebelet ingin membuat album swing (atau terinspirasi dari OST. Rumah Ketujuh-nya Indra Lesmana yang sangat kental dengan big band jazz dan swing jazz-nya?). Jadi dua lagu tersebut sengaja dipasang juga dengan intensi agar para indonesian music listeners, dapat familiar dengan musik swing. Dhani pun menjelaskan bahwa dia sedang tidak ingin membuat lagu banyak pada album ini dengan alasan sedang malas dan juga ingin kembali mengenalkan musik-musik yang pernah dia karang dulu kepada listeners baru musik Indonesia.

HpYa, itu terserah dia. Tidak bisa disalahkan juga. Menurut saya Dhani adalah seorang yang sangat cerdas di musik. Talenta dan kapabilitas dia dalam mengarang dan mengaransemen musik yang dia miliki adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa miliki. Para musisi juga berkarya dalam di industri musik mau tak mau harus bisa mengikuti arus pasar. Bisa juga dikatakan kesuksesan seorang artis musik ditentukan sejauh mana karya mereka diterima oleh pasar.

Kembali menyikapi arus perkembangan yang sangat kompetitif ini memaksa para musisi harus berlomba memberikan karya terbaik mereka. Ya, semua berkompetisi di bidangnya masing-masing. Ada yang di jalur major label dan ada yang tetap loyal dengan indie label mereka. Toh mereka juga punya pangsa pasar yang sudah terdiferensiasi.

Dalam tulisan ini, saya juga ingin menyampaikan pesan bahwa seseorang berhak menilai sesuatu dengan sudut pandang dia sendiri. Tapi ingat juga, bahwa ternyata hal yang kita pandang itu memunyai persepsi yang berbeda tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Walaupun memunyai sudut pandang yang berbeda, bukankah kita hendaknya juga tetap menghargai apa yang dihasilkan orang lain?. Terlepas kita suka atau tidak. Lagipula cara menghargai sesuatu kan tidak harus dengan memiliki dan memujinya, tapi sekadar sebuah senyuman dan beberapa kali tepukan tangan saya rasa itu sudah cukup. Karena Anda pun belum tentu bisa seperti mereka.

0 komentar: